Ming. Jun 8th, 2025
GRIB Jaya
GRIB Jaya Duduki Tanah BMKG

Bayangkan sebuah pagi tenang di kawasan Serpong, di mana petugas BMKG seharusnya sibuk mempersiapkan pembangunan pusat pemantauan iklim. Tapi yang mereka temukan bukan tanah lapang, melainkan pagar seng berwarna perak, bertuliskan tegas: “Tanah Ini Milik GRIB Jaya.”

Itu bukan mimpi buruk. Itu kenyataan pahit yang menimpa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) — lembaga yang tugasnya menjaga keselamatan masyarakat dari bencana alam, kini justru kehilangan akses ke tanahnya sendiri.

Tanah yang Tak Lagi Ramah

Sejak 1993, lahan itu terdaftar sebagai milik negara, tercatat sah dalam sertifikat Hak Pakai atas nama BMKG. Rencananya sederhana dan mulia: membangun fasilitas pemantauan yang bisa membantu masyarakat merespons perubahan cuaca ekstrem dan gempa bumi secara real time.

Tapi harapan itu pupus untuk sementara, ketika organisasi kemasyarakatan bernama GRIB Jaya datang dan mendirikan posko di atas lahan tersebut.

Warga sekitar awalnya bingung. Siapa yang benar? Siapa yang seharusnya ada di sana? Tapi kebingungan berubah menjadi keprihatinan ketika spanduk-spanduk GRIB Jaya membatasi gerak petugas BMKG — lembaga negara yang justru harusnya didukung.

“Kami Tidak Merampas,” Kata Mereka

Dalam video klarifikasi, GRIB Jaya menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki niat untuk merampas lahan negara. Mereka berdalih, kehadiran mereka adalah bentuk “pengawasan” terhadap aset publik agar tidak dikuasai mafia tanah.

Narasi ini terdengar heroik — namun bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Ada pagar yang membatasi. Ada klaim visual atas nama ormas. Dan yang paling penting: tidak ada surat resmi yang menunjukkan hak milik dari GRIB Jaya atas tanah itu.

Ketika Warga Bertanya: Siapa yang Melindungi Negara?

Di sisi lain, BMKG sebagai institusi publik tidak ingin gaduh. Mereka memilih jalur hukum, menyerahkan kasus ini ke aparat kepolisian. Tapi publik bertanya: kenapa harus diam jika negara sedang dirugikan?

Seorang ibu di kawasan Setu, yang rumahnya tak jauh dari lokasi, berkata lirih, “Kalau BMKG saja bisa dihalangi, apalagi kami rakyat kecil. Kalau negara kalah, siapa yang melindungi kami?”

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Ketika institusi resmi harus minta izin kepada ormas untuk mengakses aset sendiri, tatanan hukum sedang diuji.

⚖️ Langkah Aparat dan Sorotan Publik

Merespons kegelisahan masyarakat, Polres Tangsel mulai memeriksa Lurah Setu, mendalami siapa yang memberi izin awal kepada GRIB Jaya membangun posko. Penyelidikan ini diharapkan bisa membuka rantai perizinan yang mungkin cacat hukum.

Sementara itu, suara dari DPR RI juga menggema. Anggota legislatif menyatakan, “Negara tidak boleh kalah dari ormas.” Ini bukan sekadar konflik lahan, ini soal martabat hukum dan kedaulatan negara.

Lebih dari Sekadar Sengketa: Ini Soal Kepercayaan Publik

Kisah ini mengandung pesan penting: negara harus hadir dengan kasih dan ketegasan. Jika masyarakat melihat negara diam saat dihalangi, maka kepercayaan publik perlahan akan luntur. Dan kepercayaan — sekali hilang — sulit kembali.

Sebaliknya, jika negara mampu menyelesaikan ini dengan tegas namun tetap humanis, ini akan menjadi bukti bahwa hukum tetap hidup dan berdiri tegak untuk semua — tanpa pandang ormas, pangkat, atau simbol.

Harapan Rakyat: Negara yang Tak Gentar Membela Kebenaran

Kini publik menanti, bukan sekadar solusi hukum, tetapi langkah moral dan politik dari pemimpin bangsa. Bukan sekadar menertibkan pagar seng, tapi menegakkan prinsip bahwa negara tidak bisa ditantang di tanahnya sendiri.

Lahan BMKG di Setu mungkin hanyalah sebidang tanah, tapi di atasnya tertanam harga diri negara dan harapan rakyat kecil. Jangan biarkan pagar-pagar liar menghalangi masa depan.

By pbnpro

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *